SUARAPOS.CO.ID – Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya memenuhi permintaan diskusi yang dilayangkan Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Tokoh politik nasional asal Bangka Belitung itu menjadi narasumber dialog dalam rangkaian acara Metallurgy and Materials Week 2023 di kampus terkemuka ini.
Bertajuk “Sustainability in The Downstream of Mineral Resources Processing Industry”, dialog ini berlangsung di Balai Purnomo, Universitas Indonesia, pada Sabtu, 19 November 2023.
Dialog yang dimoderatori D.Sc (Tech) Imam Santoso, ST M.Phil, Dosen Teknik Metalurgi ITB, menghadirkan pula panelis Prof Dr Eng Ir Sri Harjanto Dosen Teknik Metalurgi dan Material UI, serta Faisal Basri ekonom dari INDEF.
Indonesia, memiliki mineral logam yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang sekarang dikatagorikan sebagai mineral kritis. Cadangan mineral terbatas dan belum ditemukan cadangan baru.
Dikatakan Bambang Patijaya, hilirisasi diperlukan untuk transformasi ekonomi dari ekspor komoditas menjadi pengolahan.
“Yang tadinya kita hanya mengandalkan ekspor komoditas sumber daya alam, kita ingin ke depannya itu ada peningkatan value, bahwa sudah merupakan barang olahan atau minimal barang setengah jadi,”ujar Bambang Pati Jaya, Sabtu (18/11/2023).
Yang kita inginkan ke depannya itu tidak selesai pada hilirisasi, tapi menuju industrialisasi,” sambungnya.
Untuk menuju industrialisasi mineral, dalam tinjauan Bambang Patijaya, ada empat masalah mendasar yang saat ini ada di Indonesia.
Pertama, dia menyebutkan, proposal investasi yang masuk ke Indonesia, hanya sampai pada hilirisasi tahap pertama. Tidak ada komitmen untuk lakukan hilirisasi lanjutan.
Dalam hal ini, dia memberi contoh pada nikel, investasi hilirisasi nikel yang masuk ke Indonesia hanya investasi berteknologi rendah.
Produk olahan yang dihasilkan hanya Nickel Pig Iron (NPI) yang merupakan feronikel berkadar rendah. Padahal masih banyak kandungan mineral yang dapat dimanfaatkan.
Bambang pun menyarankan supaya hilirisasi nikel dapat mencontoh hilirisasi yang dilakukan pada timah yang sejak 20 tahun lalu sudah membangun smelternya di Bangka Belitung.
“Nikel harus mencontoh apa yang terjadi pada pertimahan 20 tahun lalu smelter sudah berdiri. Produk daripada tin ingot di Babel kandungannya 99,99 persen,” ujarnya.
Kedua, lanjut Bambang, persoalan ego sektoral, antar kementerian. Dia memberikan contoh kasus, yakni regulasi fiskal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memberatkan industri intermediate.
Dikatakannya, pengenaan PPN 11 persen tidak tepat jika dikenakan kepada produk-produk pengolahan lanjutan atau produk setengah jadi. Sebaliknya, ekspor produk pengolahan setengah jadi justru dibebaskan pengenaan PPN.
“Salah satu hal yang menghambat investasi pengembangan industri lanjutan itu adalah persoalan regulasi sendiri. PPN itu sangat tidak masuk jika dibebankan kepada barang-barang intermediate, barang-barang untuk bahan pengolahan lanjutan,” ujar Bambang Patijaya.
Untuk soal PPN ini, dia meminta dikenakan di ujung, tidak di fase intermediate.
“PPN itu harus dipungut di ujung, sehingga barang-barang kita memiliki daya kompetitif,” ujar dia.
Ketiga, kata Bambang, persoalan aspek hukum yang tidak pasti dan regulasi pertambangan yang birokratis.
Misalkan soal pasir laut, dengan terbitnya PP Nomor 26 tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Ini berpotensi timbulnya benturan domain.
Keempat, regulasi yang dijalankan antara hulu dan hilir, tidak link and match dengan kebutuhan industri di intermediate.
Meski masih terdapat beberapa kendala, sejauh ini menurut Bambang arah menuju industrialisasi sudah betul, walau belum maksimal.
“Banyak hal-hal yang harus kita perbaiki, baik pada proses bisnisnya maupun regulasinya. Nah, harapan kita pada industrialisasi yang akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045. Tujuan menjadi negara maju bisa tercapai, dan masalah-masalah bisa teratasi,” demikian harapan Bambang Patijaya. (***)