SUARAPOS.CO.ID – Keturunan (trah) Sri Sultan Hamengkubuwono II akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional terkait belum dikembalikannya manuskrip asli dan harta benda milik HB II yang di rampas saat peristiwa Geger Sepehi tahun 1812.
Dasar Trah Sultan HB II menuntut dikembalikan harta rampasan perang di saat Geger Sepehi 1812 terutama manuskrip adalah merujuk pada UUD 1945 Amandemen,”
“Pada Pasal 32 yang berbunyi dalam ayat pertama Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya,”ujar Perwakilan Trah Sultan HB II, Fajar Bagoes Poetranto dalam keterangan pers, Kamis (30/11/2023).
“Kemudian dalam ayat kedua Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional,” jelasnya.
Bagoes menambahkan, dasar lain pihaknya mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional adalah UU RI No 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Dimana, sesuai undang-undang, terdapat 10 obyek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Selain itu, dasar lain yang akan digunakan untuk meminta kembali Manuskrip asli adalah PP 87 tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Pemajuan Kebudayaan.
Dalam Bab I Ketentuan Umum dalam Pasal 1 ayat 8 disebutkan Pelindungan adalah upaya menjaga keberlanjutan Kebudayaan yang dilakukan dengan cara inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi.
Peraturan Presiden No 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention For The Safeguarding Of The Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda) juga menjadi penguat untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional.
Bagoes menjelaskan bahwa ada ketentuan hukum Internasional yang melarang tindakan perampasan atau penjarahan dalam perang.
“Ketentuan hukum internasional tersebut adalah The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of 12 August 1949, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1997, dan Rome Statute of the International Criminal Court,” tegasnya.
Bagoes juga mengungkapkan bahwa pihak Trah Sultan HB II sudah melayangkan surat hingga tiga kali ke Kerajaan Inggris melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
“Namun sampai saat ini belum ada balasan surat yang menyatakan secara jelas terkait pertanggungjawaban, permohonan maaf dan pengembalian Manuskrip asli dan harta benda lainnya yang dirampas pada peristiwa Geger Sepehi 1812 kepada Kami,”jelasnya.
Terkait pengembalian manuskrip dalam bentuk digital yang diserahkan Kedubes Inggris kepada Keraton Yogyakarta baru baru ini Trah Sultan HB II menyambut baik dan mengapresiasi hal tersebut.
“Kami mengapresiasi dan menghormati langkah Inggris yang kemarin telah mengembalikan 120 manuskrip yang diserahkan langsung oleh Dubes Inggris ke Keraton Yogya,”terangnya.
“Namun, kami meminta sekali lagi dikembalikan dalam bentuk asli, bukan digital. Dan, kami meminta seluruh manuskrip kami dikembalikan. Jumlahnya ada sekitar 7.500 manuskrip,”jelas Bagoes.
Bagoes berharap manuskrip dan harta benda milik HB II dikembalikan kepada keturunan Sri Sultan HB II seperti yang diungkapkan Peter Carey, Sejarawan dari Inggris beberapa waktu lalu, aset yang diambil berupa perhiasan dan emas seberat 350 Kg.
“Selain itu juga naskah kuno atau manuskrip, dan artefak terkait Keraton Yogyakarta yang sangat bernilai sejarah tinggi,” beber Bagoes.
“Ya nanti kita buktikan soal kepemilikan dan jumlah emas 350 kg itu, tidak sekarang ada waktu yang tepat. Saat ini yang paling penting juga adalah Kerajaan Inggris harus meminta maaf kepada anak dan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II pada peristiwa Geger Sepehi 1812,” tegas dia.
Bagoes menambahkan pihak Pemerintah Inggris dapat mengikuti jejak Pemerintah Belanda yang telah mengembalikan benda-benda yang diambil dari Indonesia melalui proyek repatriasi.
Benda yang dikembalikan Pemerintah Belanda mulai dari koleksi benda seni dari Bali, artefak Singasari, hingga benda-benda bersejarah dari kerajaan Lombok. (rel)